1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaJerman

Euro 2024: "Jerman butuh Dongeng Musim Panas jilid dua"

16 Mei 2024

Piala Eropa 2024 diharapkan bisa merapal ulang "dongeng musim panas" dari 18 tahun silam, saat Jerman menggelar Piala Dunia 2006. Seberapa besar animo tuan rumah? Wawancara dengan sosiolog Jerman Thomas Druyen.

https://p.dw.com/p/4fvXK
Fans Jerman di Piala Dunia 2006
Fans Jerman di Piala Dunia 2006Foto: Gero Breloer/dpa/picture alliance

Piala Dunia 2006 telah "mengusir rasa tidak percaya diri yang menghantui negeri ini selama 40 tahun," kata Thomas Druyen, sosiolog dan penggemar sepak bola Jerman. Selama empat pekan, ratusan ribu fans dari seluruh dunia menyemuti kota-kota, ketika Jerman menggelorakan slogan "saatnya membina pertemanan" dan menemukan kembali rasa cinta kepada tanah air.

"Bentuknya bukan patriotisme, melainkan sejenis kosmopolitanisme, karena semua orang bergembira. Orang tidak bergembira untuk merayakan kemenangan atau kekalahan lawan, melainkan bahwa kegembiraan itu sendiri yang menjadi tujuan," kata dia dalam sebuah wawancara tahun 2006.

Delapan belas tahun kemudian, DW kembali berbicara dengan Thomas Druyen soal "dongen musim panas" tahun 2006, dan Piala Eropa 2024 yang akan datang. Berikut kutipannya:

DW: Menurut Anda, seberapa besar dampak Piala Dunia 2006?

Thomas Druyen: Sepak bola adalah salah satu dari sedikit kompetisi di mana kekalahan sekalipun tidak, atau sangat jarang, menyebabkan kebencian. Olahraga ini juga diberkati karena memiliki aturan yang diterima seluruh dunia. Pada tahun 2006, kekuatan sepak bola telah mendorong masyarakat Jerman yang sebenarnya skeptis dan anti-risiko, serta sangat fanatik terhadap keamanan, untuk mau menyambut tamu dari seluruh dunia.

Bagi saya, seperti jutaan orang lainnya, Piala Dunia 2006  adalah momen luar biasa dalam hidup saya. Kenangannya membekas dalam bentuk kerinduan. Tapi, sangat menakutkan melihat betapa jauhnya kita saat ini dari rasa kesatuan dan kolektivitas seperti pada tahun 2006.

Desain Seragam Sepak Bola Timnas Jerman Memicu Perdebatan

Setelah tahun 2006, banyak yang menyangka Jerman akan lantas menjadi negara kosmopolitan seperti selama putaran final. Apakah Piala Dunia di Jerman terlalu diromantisasi?

Saya percaya kenaifan ini adalah ciri budaya kita. Kita melihat tim favorit kita menang dan berpikir itulah titik baliknya. Kita mengalami sesuatu yang indah dalam kehidupan pribadi atau di tempat kerja dan berpikir kemudahan akan tetap bertahan selamanya. Sifat mudah tertipu ini adalah bagian dari euforia pada saat itu. Kita pikir segalanya akan tetap seperti saat Piala Dunia. Namun kita lupa bahwa kita harus bekerja keras untuk itu. Anda tidak bisa menciptakan suasana seperti ini begitu saja. Terutama ketika Anda sedang tidak dalam kondisi baik.

Saat ini, situasinya serupa seperti pada tahun 2006. Sebuah tim nasional yang sampai saat ini tidak meyakinkan, pelatih yang relatif baru yang tidak segan-segan mengambil langkah drastis. Menurut Anda, seberapa besar peluang terulangnya dongeng musim panas pada Piala Eropa tahun ini?

Tidak ada yang lebih dari itu yang saya inginkan untuk Jerman. Tapi saya tidak akan mengesampingkan skenario apa pun karena kondisi sosial yang tidak sesuai. Masyarakat kita sedang sangat frustrasi. Melepaskan diri dari suasana hati seperti itu hanya mungkin jika Jerman mencapai final. Euforia tidak bisa muncul ketika tim Anda sendiri tersingkir. Krisis di timnas dalam beberapa tahun terakhir merupakan cerminan dari kondisi mental bangsa kita. Sepak bola mengalami masalah yang sama seperti masyarakat kita. Kegagalan jangka panjang juga memiliki alasan psikologis. Bahkan pemain top pun tidak betah bermain untuk tim nasional.

Franz Beckenbauer Meninggal Dunia

Berbeda dengan tahun 2006, AfD kini sudah tiba di Bundestag, sebuah partai populis sayap kanan. Apakah Anda melihat bahaya bahwa Piala Eropa ini dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik kaum ekstremis kanan?

Jika dongeng musim panas memang nyata, maka kehadirannya akan menjadi kekuatan pemersatu. Tidak ada kelompok yang bisa mengklaimnya sebagai milik mereka, baik sayap kanan maupun kiri. Rasa kebersamaan akan mendekatkan kita semua. Tim nasional adalah kelompok yang beragam dengan banyak elemen budaya di dalamnya. Merayakannya bertentangan dengan gagasan supremasi kulit putih. Itu sebabnya saya tidak melihat bahaya bahwa kesuksesan besar bisa dieksploitasi oleh kelompok kanan. Tapi berbeda jika timnas Jerman tersingkir lebih awal, karena kegagalan itu bisa dianggap sebagai bukti tentang masyarakat yang tidak lagi berfungsi.

Menurut riset, penyelenggaraan Piala Dunia 2006 memperbaiki citra Jerman di dunia. Apakah negara ini memerlukan dorongan pencitraan seperti dulu?

Citra Jerman saat itu melonjak secara eksponensial. Reputasi ini tidak lantas mengalami penurunan yang signifikan setelahnya. Tentu saja ada pandangan yang menganggap kita sebagai bangsa berhati keras. Namun secara keseluruhan, citra Jerman berada pada level yang jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Hal ini juga karena Jerman membantu seluruh dunia dan menawarkan perspektif kepada keputusasaan. Kita patut bangga akan hal ini. Itu sebabnya saya katakan, bahwa sekarang kita memerlukan dongeng musim panas untuk diri sendiri dan bukan untuk memperbaiki reputasi kita di dunia.

Thomas Druyen, lahir di Viersen dekat Düsseldorf, adalah seorang guru besar sosiologi Jerman. Dia mengepalai Institut Psikologi Masa Depan dan Manajemen Masa Depan, yang dia ikut dirikan di Universitas Swasta Sigmund Freud di Wina, sejak 2015 dan merupakan Presiden opta data Future Foundation di Essen. Sosok berusia 66 tahun itu juga dikenal lewat kecintaannya pada sepak bola.

Wawancara oleh Stefan Nestler. (rzn/as)